Malam Yang Penuh Cahaya
Minggu, 07 Oktober 2018
GURU SEJATI
GURU SEJATI

“Duhai anakku, janganlah engkau
berteman dengan seseorang yang hanya mencintaimu jika engkau mampu
menghindarkan diri dari semua dosa. Sesungguhnya saat engkau masih terjerumus
dosa seperti saat ini justru aku bermanfaat untukmu.”
Mendengar ucapan tersebut, Abu ‘Amr
pun kembali bersemangat untuk beribadah.
Sumber:
‘Abdul Karim bin Hawazin al-Qusairy, ar-Risalatul Qusyairiyyah, Dar al-Kheir,
hal. 93.
MENIKAH KARENA MENGHARGAI SUMPAH
MENIKAH
KARENA MENGHARGAI SUMPAH
Suatu ketika Syeikh Abu ‘Utsman
an-Naisaburi ditanya, “Amal apakah yang paling kamu harapkan pahalanya di sisi
Allah?”

“Duhai Abu ‘Utsman, sungguh aku
sangat mencintaimu, maka demi Allah nikailah aku.”
Tak lama setelah itu ia datang
kembali bersama ayahnya yang miskin dan kamipun menikah. Ayahnya pun merasa
sangat bahagia. Ketika kami berduaan ternyata dia adalah seorang wanita yang
bermata juling, berkaki pincang, dan wajahnya menyeramkan. Karena cintanya yang
begitu besar kepadaku, ia mencegahku keluar dari rumah. Demi menjaga hatinya
akupun tinggal di rumah dan tidak sedikitpun kutunjukkan rasa benciku
kepadanya. Selama lima belas tahun aku hidup bersamanya hingga ajal
menjempunya. Inilah amal yang paling kuharapkan pahalanya di sisi Allah.”
SERATUS DINAR UNTUK MENGAJARKAN AL-QUR'AN
SERATUS
DINAR UNTUK MENGAJARKAN AL-QUR’AN
Seorang sufi menyerahkan pendidikan
Al-Quran anaknya kepada seorang guru. Ketika sang anak sudah dapat membaca
Al-Quran dengan baik hingga surah Ar-Rahman, sang ayah memberi guru tersebut
uang sejumlah serataus dinar sebagai hadiah. Akan tetapi guru tersebut
menolaknya dan menganggap pemberian itu terlampau banyak. Melihat sikapnya,
sang sufi berkata, “Maaf, serahkan putraku kepadaku, aku tidak berkenan engkau
mendidiknya lagi.”
“Mengapa demikian?” Tanya guru tersebut
keheranan.
“Karena engkau tidak memuliakan
Al-Quran. Engkau menganggap pemberianku sebesar seratus dinar terlampau banyak.
Sebenarnya, seandainya kuberikan seluruh hartaku kpadamu sebagai hadiah atas
jasamu mengajari Al-Quran kepadanya, maka semua itu masih sedikit.” Jawabnya.
Sufi tersebut kemudian menyerahkan
pendidikan Al-Quran anaknya kepada guru lain. Dan gurur yang menolak
pemberiannya tersebut menyesali sikapnya.
Sumber:
Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi, Kalam Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi
manuskrip, Juz akhir, hal 2
MENDERMAKAN APA YANG MELEKAT DITUBUH
MENDERMAKAN
APA YANG MELEKAT DITUBUH
Suatu hari seorang pria datang
menemui Ahmad bin Abil Hawari dan berkata kepadanya, “Semalam istriku
melahirkan anak laki-laki, akan tetapi sampai saat ini kami tidak memiliki
sesuatu pun untuk membiayai semua keperluannya.”
“Pagi ini aku juga tidak memiliki apa-apa selain dua
kain yang menutupi tubuhku ini. Pilihlah yang terbaik dan juallah. Gunakan uang
hasil penjualan itu untuk keperluan bayi kalian.”
“Kain yang menutup bagian bawah
tubuhmu lebih bagus.”

Sumber:
‘Umar bin ‘Ali bin Ahmad al-Mishri, Thobaqatul auliya, Dar al-Kutubil
‘ilmiyah,2006. Hal. 57
MENUTUP AIB
MENUTUP AIB
Suatu hari di Kota Baghdad, seorang
wanita mendatangi Ahmad bin Mahdi dan menceritakan kepadanya, bahwa ia adalah
anak gadis seseorang dan kini tengah mengalami musibah. Ia meminta Syaikh Ahmad
bin Mahdi bersumpah untuk membantunya menutup aibnya. Beliau pun bertanya
kepada wanita tersebut:
“Aku diperkosa dan kini aku hamil.
Dan aku telah berkata kepada masyarakat bahwa engkau adalah suamiku, ayah dari
anak yang kukandung ini. Tolong jangan permalukan aku. Tolong tutuplah aibku
ini, semoga Allah menutup aibmu,” jawabnya.
Syaikh Ahmad bin Mahdi terdiam dan
wanita itu kemudian meninggalkan beliau begitu saja. Beberapa bulan kemudian,
kepala desa dan sejumlah tetangga wanita itu datang mengunjungi Syaikh Ahmad
untuk mengucapkan selamat, karena wanita yang mengaku sebagai istri beliau itu
telah melahirkan seorang putra. Syaikh Ahmad pun menampakkah wajah bahagia
kepada mereka semua dan keesokan harinya menyerahkan uang dua dinar kepada kepala
desa agar diserahkan kepada wanita tersebut sembari berkata, “Tolong serahkan
uang dua dinar ini kepada istriku agar ia dapat membiayai semua keperluan
anaknya. Anak itu telah mempersatukan kami.”
Setelah itu setiap bulan Syaikh
Ahmad mengirimkan uang dua dinar kepada wanita yang mengaku sebagai istrinya
tersebut. Ketika mencapai usia dua tahun, sang anak meninggal dunia. Masyarakat
pun berbondong-bondong mendatangi Syaikh Ahmad untuk mengucapkan bela sungkawa.
Beliau menampakkan wajah pasrah dan ridha kepada mereka semua. Sebulan
kemudian, di malam hari, wanita itu kembali mendatangi Syaikh Ahmad dengan
membawa semua uang yang beliau kirimkan selama dua tahun tersebut. Wanita itu
mengembalikan semua uang itu sembari berkata, “Semoga Allah menutup aibmu
sebagaimana engkau telah menutup aibku.”
“Semua uang ini dahulu telah
kuniatkan untuk kuberikan kepada anakmu, sekarang ambillah untukmu, terserah
engkau gunakan untuk apa,” jawab Syaikh Ahmad.
Sumber: Dr.
Musthafa Murad, Qishahul Sholihin, Dar al-Fajr Litturats, Cet. I Mesir, 2004.
Hal. 99
Minggu, 30 September 2018
SAHL BIN 'ABDULLAH AT-TUSTARI DAN TETANGGAN MAJUSI
SAHL BIN
‘ABDULLAH AT-TUSTARI DAN TETANGGA MAJUSI
Sahl bin ‘Abdullah At-Tustari
bertetangga dengan seorang majusi (penyembah api). Pada suatu hari WC (toilet)
si majusi bocor dan airnya yang najis merembes ke atap rumah Sahl. Setiap hari
Sahl meletakkan bejana dibawah atap tersebut untuk menampung rembesan yang
najis itu. Malam harinya beliau membuang air rembesan itu tanpa sepengetahuan
seorang pun. Hal ini beliau lakukan selama bertahun-tahun.

“Apa yang menetes dari atapmu ini?”
“Sebenarnya aku tidak ingin
menceritakan hal ini kepada seorang pun. Akan tetapi, kulihat ajalku telah
dekat, dan aku khawatir orang lain tidak dapat melakukan apa yang kulakukan
ini. Maka terpaksa kuceritakan kepadamu, dan setelah ini terserah apa yang akan
engkau lakukan. Kotoran yang menetes dari atap rumahku ini berasal dari WC
rumahmu. Selama bertahun-tahun aku menampungnya di bejana itu dan membuangnya
dim lam hari agar tidak ada seorang pun yang mengetahui,” jawab Sahl.
“Tuanku, selama bertahun-tahun
engkau perlakukan aku seperti ini, padahal aku bukan seorang Muslim? Tolong
julurkan tanganmu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi
Muhammad adalah Rasul utusan Allah,”
Setelah menyaksikan keislaman
tetangganya tersebut Sahl pun meninggal dunia.
Dr. musthafa
Murad, Qishsashul Sholihin, Darul Fajr Litturats, cet. I, Mesir, 2004. Hal 94.
NAJIS DI TEMBOK RUMAH MAJUSI
NAJIS DI
TEMBOK RUMAH MAJUSI
Suatu hari, Imam Abu Hanifah
bergegas e rumah seorang Majusi untuk menagih hutang kepadanya. Sesampainya di
depan rumah si Majusi, beliau menginjak najis. Ketika Imam Abu Hanifah berusaha
membersihkan najis tersebut dari alas kakinya, najis itu justru terlempar dan
melekat di tembok rumah Majusi. Beliau pun kebingungan.
“Jika najis ini tidak kubersihkan,
tembok rumah majusa ini menjadi kotor karenanya, akan tetapi jika kubersihkan,
maka pasir-pasir yang melekat di tembok ini akan berjatuhan,” ujar beliau dalam
hati.

“Tolong sampaikan kepada tuanmu,
jika Abu Hanifah menunggunya di depan pintu,” ujar Imam Abu Hanifah kepadanya.
Melihat Imam Abu Hanifah, si Majusi
segera meminta maaf karena ia belum dapat melunasi hutangnya. Pikirnya, beliau
hendak menagh hutangnya. Imam Abu
Hanifah ra lantas berkata kepadanya, “Sekarang ada permasalahan yang jauh lebih
penting.” Beliau pun menceritakan apa yang terjadi. Setelah mendengar penuturan
beliau, si Majusi berkata, “Akulah yang terlebih dahulu harus membersihkan
diriku.” Saat itu juga ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang
Muslim yang baik.
Sumber : dr.
musthafa murad, Qishashul Sholihin, Darul Fajr Litturats, Cet I Mesir, 2004.
Hal, 106
WARGA TARIM YANG AMANAT
Warga
Tarim yang Amanat
Alkisah,ada seorang warga Bait jubair
berkunjung ke kota Tarim membawa sebuah karung kurma mentah untuk di jual di
sana. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang mau membelinya. Akhirnya ia merasa
bosan dan meninggalkan karung itu di serambi sebuah gudang . Pemilik gudang itu
melihat perbuatanya. Ketika ia pergi, pemilik gudang itu mengambil sekarung
kurma mentah tersebut dan menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Uang hasil
penjualan kurma itu ia gonakan untuk berdagang sehingga berkembang dan maju.
Beberapa tahun kemudian, pria
pemilik kurma tersebut berkunjung ke Tarim dan bercakap-cakap dengan si pemilik
gudang. Ia berkata, “Beberapa tahun lalu aku singga di tempat ini dan
kutinggalkan sekarung kurma mentah di sini.”
Pemilik gudang itu berkata, “Oh,
jadi engkau pemilik kurma itu.” “Benar,” jawabnya.
“Mari masuk ke dalam tokoku,”
pemilik gudang mempersilahkan pria pemilik kurma, lanjutnya, “Semua barang yang
ada di toko ini milikmu, silahkan kamu ambil,” ujar pemilik toko sembari
menceritakan apa yang telah ia perbuat dengan kurma mentah tersebut.
Pria itu pun mengambil seluruh
barang yang ada di toko tersebut dan kemudian pergi begitu saja.
Sumber : Habib Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad
bin Ahmad al-Haddad, Tatsbitul Fuad, juz 2 hal. 32
THARIQAH YANG DAMAI
THARIQAH
YANG DAMAI
Thariqoh Alawiyah adalah sebuah
metode, sistem atau cara yang digunakan oleh para Bani Alawi dalam
perjalanannya menuju Allah ‘Azza wa Jalla. Thariqah ini menjadi semakin
istiwema karena diwarisi dari leluhurnya yang tiada lain adalah anak cucu Nabi
Muhammad saw. Thariqah Alawiyah ini dicetuskan pertama kalinya oleh al-Imam
al-Faqih al-Muqaddah Muhammad bin Ali Ba’alawi yang ditandai dengan
berkembangnya tasawuf di Hadhramaut.

Thariqah ini juga disebut sebagai
Ahlussunah Wal Jama’ah. Ahl berarti keluarga, golongan atau mengikut. As-Sunnah
yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Al-Jama’ah yaitu
apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah saw pada masa
al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib rhm). Jadi Ahlussunah Wal Jama’ah
merupakan ajaran yang mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya.
Thariqah alawiyah adalah thariqah
pemersatu umat Islam secara keseluruhan. Thariqah ini tidal pernah mengenal
permusuhan, tidak menyebarkan kedengkian, tidak mengajarkan kebencian, tidak
membalas cacian dengan cacian, melainkan sebagai penyebar rahmat bagi seluruh
alam (rahmatan lil ‘alamin).
Disebutkan dalam sebuah riwayat,
bahwa suatu waktu al-Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib berjalan bersama
putranya, tiba-tiba mereka dihadang oleh seseorang, lalu orang yang tersebut
mencaci-maki Sayyidina Hasan behkan mencaci ayah dan ibunya (Sayyidina Ali bin Abi
Tahalib dan Sayyidatuna Fatimah Az-Zahra). Putera Sayyidina Hasan tidak tahan
terhadap makian tersebut dan menegur ayahnya: ‘Wahai ayahku, kenapa engkau
tidak membalas makian orang tersebut? Sedangkan engkau memiliki hak umtuk
membalas makian orang tersebut wahai ayah.’
Maka sang ayah memandang kepada
anaknya dan berkata menasihatinya: ‘Wahai anakku, sejak kapan engkau pernah
mendapati ayahmu atau kakekmu menjadi seorang pencaci?’
Dalam sebuat riwayat, Rasulullah
saw pernah hadir dalam suatu peperangan dimana orang musyrikin banyak membantai
kaum muslimin. Pada saat itu, salah seorang sahabat berkata kepada beliau saw: ‘Ya
Rasulullah, laknatlah mereka orang-orang musyrikin karena telah membantai
saudara-saudara kita.’
Dengan bijaknya, Rasullah saw
menjawab: ‘Aku diutus oleh Allah SWT bukan sebagai pencaci ataupun pelaknat,
sesungguhnya aku diutus oleh Allah SWT sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta
ini (rahmatan lil ‘alamin).
Demikianlah apabila seseorang
mengenal, mempelajari dan menjalani thariqah ini dengan benar, maka menyebabkan
orang untuk saling memaafkan dan berbuat baik, sehingga menumbuhkan persatuan
dan kesatuan dikalangan kaum muslimin. Wallahua’lam…
Sumber: 17 Habiab Berpengaruh di Indonesia, Abdul Qadir Umar Mauladdawilah
WAKTU ADALAH PEDANG
WAKTU ADALAH
PEDANG
Di Huraidhah, senuah desa di lembah
Hadhramaut yang gersang namun penuh ‘kesejukan’ itu, dua abad silam, terdapat
seorang wali besar yang sedang menyampaikan nasihatnya yang begitu indah dan
mengena melalui ‘goresan penanya’. Ia adalah al-Quthb al-Imam al-Habib Abu
Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Aththas, guru besar al-Imam al-Habib Ali bin
Muhammad bin Husein al-Habsyi (Shahibul Maulid Simthuddurar).
Ia menulis surat untuk sahabatnya, al-‘Arifbilah
al-Habib Agil bin Idrus bin Agil yang tinggal di Kota Inat, Hadramaut. Surat
yang berkilauan cahaya, bertabur nasihat-nasihat yang membangunkan seseorang
dari tidur panjang, terangkai dalam kalimat-kalimat indah nan sejuk di jiwa:
‘Hadapkan jiwa dan ragamu kepada Allah SWT sepenuhnya. Kerahkan segenap upaya
dan nia, niscaya Allah SWT akan mengangkatmu untuk menjadi salah seorang
wali-Nya. Lalu, Allah SWT akan mengucurkan karunia-Nya yang mendamaikan kedua
pelupuk mata dan hatimu.’
Demikianlah nasehat pertama yang
‘terajut’ dalam surat itu. Suatu motivasi yang sangat menggugah untuk Habib
Agil khususnya dan untuk kita pada umumnya. Habib Abu Bakar kemudian
melanjutkkan: ‘Engkau telah mengabarkan kepadaku, bahwa kini Engkau telah mendirikan
sebuah majlis ta’lim. Sungguh hal ini adalah kabar yang sangat membahagiakanku.
Andai saja aku berada di tengah-tengah kalian, tentu aku juga akan mendapatkan
limpahan keberuntungan sebagai mana yang telah kalian dapatkan.’
Ketahuilah, bahwa keutamaan ilmu
tidak ada yang bisa manandinginya. Allah SWT berfirman: ‘(Allah SWT menyatakan
bahwasanya) tidak ada Tuhan melainkan-Nya (yang berhak disembah), yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). Tadak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
Dalam firman-Nya yang lain, Allah
SWT memuji mereka yang berilmu: ‘Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.’
Berkaitan dengan hal itu, Baginda
Rasulullah saw bersabda: ‘Barangsiapa dikehendaki Allah SWT untuk menjadi orang
baik, maka ia akan diberikan pemahaman dan pengetahuan dalam ilmu agama.’
‘Peliharalah waktu, karena waktu
laksana sebilah pedang. Jika Engkau tidak menggunakannya, maka ia yang akan
menebasmu. Sejatinya, segala cita-cita dapat digapai dengan memanfaatkan waktu
sebaik mungkin.’
‘Perhatikanlah sungguh-sungguh akal
hal ini. Manfaatkanlah waktu, sebab dengan itu, limpahan berkah bisa engkau
raih. Dan berkat keberkahan waktu, Engkau bisa menyaksikan segala luar bisa
yang begitu banyak, yang tidak mungkin disebutkan dalam tulisan ini.
Sebenarnya, cukup dengan isyarat, orang-orang yang berhati bijak bisa memahaminya.’
Kalimat demi kalimat terus mengalir
di lembaran kertas itu. Alangkah benar sang Habib. Waktu sangatlah berharga dan
sungguh teramat berharga untuk disia-siakan. Begitu dilewatkan, ia akan sirna
untuk selama-lamanya. Kemudian, beliau ra mengingatkan kita masalah pentingnya
perhatian terhadap anak-anak. ‘Curahkan perhatian kepada anak-anakmu. Awasilah
segala tindak-tanduk mereka, agar kelak mereka bisa membahagiakan hatimu.’
Sumber:
Sebuah Nasehat Dari Bumi Para Wali, Abdul qadir umar Mauladdawilah, hal. 47
Langganan:
Postingan (Atom)
-
THARIQAH YANG DAMAI Thariqoh Alawiyah adalah sebuah metode, sistem atau cara yang digunakan oleh para Bani Alawi dalam perja...
-
AKHLAQ MULIA Al-Habib ‘Ali bin Abu Bakar As-Sakran RA. Akhlak yang mulia (husnul hulq) adalah sifat yang mencakup semua je...